Kepala Produksi Cokbang, Melan Meta Diansyah, menjelaskan bahwa perkembangan usaha ini tidak terjadi secara instan. “Awalnya kami belajar dari pelatihan yang difasilitasi Dinas Perindustrian. Tapi setelah pelatihan selesai, kami berinisiatif mengajak masyarakat Sabang untuk kembali melihat potensi Kakao lokal,” ujar Melan di lokasi produksi, Rabu (5/11).
Menurutnya, banyak petani di Sabang dulunya menebang pohon Kakao dan beralih menanam cengkeh karena harga jual biji Kakao sempat anjlok hingga Rp13.000 per kilogram. Namun, ketika pihaknya menemukan kualitas biji Kakao Sabang yang berbeda, peluang itu langsung ditangkap. “Kami mulai produksi secara sederhana, pakai teflon dan blender. Banyak komplain waktu itu, tapi dari situlah kami belajar memperbaiki kualitas,” tambahnya.
Kini, Cokbang telah dikenal sebagai produk oleh-oleh khas Sabang, bersaing dengan dodol dan bakpia yang lebih dulu populer. Bahkan, produk ini sempat menarik perhatian pembeli dari luar negeri, seperti Jerman, yang tertarik dengan karakter rasa cokelat Sabang yang khas. “Ada yang pesan 50 kilogram untuk bahan dasar minuman cokelat. Sayangnya saat itu terkendala pengiriman dan izin ekspor. Tapi kami terus belajar bersama Bea Cukai agar bisa kirim lagi ke depan,” kata Melan.
Dalam proses produksi, Cokbang juga memberdayakan tenaga kerja lokal. Semua karyawan dilatih langsung oleh Melan, meski mereka belum memiliki sertifikat resmi. “Kami harap ke depan ada dukungan untuk pelatihan bersertifikat bagi pekerja kami, supaya keahlian mereka diakui,” ujarnya.
Selain tantangan bahan baku dan pemasaran, Melan menuturkan Cokbang tengah menyiapkan pengembangan konsep agrowisata industri cokelat. Wisatawan akan diajak melihat langsung proses dari kebun Kakao hingga pengolahan di dapur produksi. “Kami ingin wisatawan tahu bahwa Sabang punya cokelat berkualitas dunia. Ke depan, target kami adalah menjadikan Cokbang ikon oleh-oleh khas Sabang,” pungkasnya.













Discussion about this post