MediaNanggroe.com, Banda Aceh – Praktek kadhi liar sudah banyak jadi bahan penelitian. Tapi, layanan jasa nikah panggilan di Banda Aceh yang mengadopsi pola “go-food” merupakan sebuah fenomena baru. “Ini sangat berbahaya. Jangan-jangan nanti isteri orang yang dinikahkan,” kata Kadis Syariat Islam Aceh, Emka Alidar, kepada KabarAktual.id, Senin (10/4/2023).
Pejabat Pemerintah Aceh ini diminta tanggapan terkait beroperasinya praktek kadhi liar keliling di Banda Aceh yang menimbulkan keresehan publik. Seperti diungkap media ini, Minggu (9/4/2023), sejumlah pasangan muda yang ditangkap Satpol PP ternyata mengantongi surat keterangan nikah yang dikeluarkan kadhi liar.
Dalam pemberitaan sebelumnya dijelaskan, sebanyak 10 pasangan ABG (anak baru gede) ditangkap dari sebuah penginapan berbentuk kos-kosan dengan sewa harian di kawasan Kecamatan Kutaraja. Salah satu pasangan berusia 18 dan 22 tahun diketahui baru menikah sekitar 1 bulan. Masih dalam suasana bulan madu, pasangan ini ditangkap di penginapan sederhana dengan tarif Rp 50 ribu per malam tersebut.
Yang terasa janggal, semua pasangan ABG mengantongi surat keterangan nikah yang dikeluarkan oleh kadhi liar. Dalam penelusuran KabarAktual.id, terungkap, kadhi liar ini beroperasi ala go-food alias layanan keliling di sekitar Banda Aceh.

Dalam investigasi media ini diketahui, kadhi liar mematok tarif Rp 1 juta untuk sebuah pernikahan. Biaya tersebut sudah include dengan wali dan dua saksi nikah. Dari pengakuan sang kadhi, dia tidak mempermasalahkan jika “mempelai” wanita tidak direstui oleh orangtuanya. “Oh tidak apa-apa. Gak masalah itu. Nanti saya yang jadi wali nikahnya,” ujar sang khadi liar kepada seorang calon “pasiennya”.
Kadis Syariat Islam yang ditanyai mengaku baru mengetahui fenomena tersebut. Praktek kadhi liar dengan pola go-food itu, kata dia, harus menjadi atensi pihak terkait, pemerintah daerah, kementerian agama, dan aparat hukum.
Menurut Emka, praktek kadhi liar panggilan ini sangat berbahaya jika terus dibiarkan. “Nanti orang tidak tahu lagi siapa walinya, siapa yang dinikahkan dengan siapa. Bisa terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Jangan-jangan nanti ada istri orang yang dinikahkan dan seterusnya,” kata kadis DSI Aceh.
Kata Emka, efek negatif dari kadhi liar ini sebenarnya sudah banyak sekali diteliti oleh para pakar dan dari sudut negara tentu ini tidak dibolehkan. Tidak dibolehkan nikah siri, sambung kadis, karena statusnya tidak diakui oleh negara.
Dalam banyak kasus nikah siri, kata kadis lagi, kalau terjadi hal-hal negatif pada pihak perempuan, seperti kekerasan dalam rumah tangga, maka tidak dapat diproses dengan Undang-undang KDRT. “Karena nikahnya tidak diakui oleh negara. Yang dirugikan, sebenarnya, pihak perempuan,” ucap Emka.
Kadis DSI menerangkan lagi, Pemerintah Aceh sejak 2019 atau pada akhir 2018, sudah mengajukan draft qanun hukum keluarga. Cuma naskah tersebut hingga saat ini belum turun dari Kemendagri.
Dijelaskan, draft qanun itu sempat heboh ketika di awal-awal kelahirannya dulu. Pemberitaan media menimbulkan persepsi negatif seakan-akan Aceh mau melegalkan poligami. “Sehingga, waktu itu menjadi heboh dan juga karena situasi menjelang pemilu makanya fasilitasi qanun itu tidak dilanjutkan oleh Kemendagri,” kata Emka.
Belakangan, sambung Kadis DSI, proses fasilitasi qanun keluarga ini sudah mulai dilanjutkan lagi. Bahkan menurut pengakuan Emka, Mendagri menilai konsep yang ada di qanun itu sebenarnya cukup bagus. Dan, bahkan qanun keluarga itu bisa dicontoh oleh provinsi-provinsi lain. “Karena aturan ini mencoba menutup sudut-sudut yang selama ini dianggap kurang dalam pengaturannya, baik melalui undang undang perkawinan maupun kompilasi hukum Islam di Indonesia,” ucap Emka.
Ia menerangkan, dalam draft qanun keluarga tercantum sanksi bahwa khadi liar bisa diproses hukum. “Hal seperti ini sebelumnya tidak konkret dijabarkan dalam undang-undang kita. Padahal bisa diproses hukum. Bisa dicambuk karena melanggar hukum syariat. Dia merupakan orang yang tidak bertauliyah, tidak diberikan kuasa oleh negara untuk menikahkan orang,” kata Emka.
Berdasarkan qanun itu, sambungnya, khadi liar bisa ditangkap. Demikian pula dengan pelaku nikah siri bisa dikenakan sanksi pidana. “Secara konsep, pemerintah Aceh, DPRA, bersama ulama dan berbagai pihak sudah mengantisipasi permasalahan ini lewat draf qanun yang sudah diajukan itu,” ujar Kadis DSI.
Pada bagian akhir pernyataannya, Emka Alidar meminta dukungan berbagai pihak agar draf qanun hukum keluarga yang sudah berada di meja Mendagri segera selesai proses konsultasinya. Sehingga, bisa disahkan menjadi Qanun Aceh tentang hukum keluarga. “Mudah-mudahan dengan adanya qanun itu nanti bisa mengantisipasi kegiatan-kegiatan seperti ini karena ada sanksi pidana terhadap kadhi liar dan pelaku nikah siri,” pungkasnya.[]
Discussion about this post